
Adanya Mall Olympic Garden (MOG) membawa konsekuensi logis bagi kondisi lingkungan di Malang. Kawasan ruang terbuka hijau semakin berkurang, pun demikian halnya dengan fasilitas umum dan sosial yang peruntukannya untuk warga. Seluruh fasilitas gratis tersebut berganti dengan lahan komersial yang menyedot ribuan lapangan kerja baru.
Namun disisi lain, kehadiran MOG sedikit membuka cahaya bagi kawasan Stadion Gajayana Malang yang semakin temaram ketika malam menjelang. Kehidupan sosial di pagi hingga sore ketika mentari bersinar berganti dengan kehidupan malam yang remang-remang.
Di suatu sudut jalan yang bersebelahan dengan balai pertemuan kerap digunakan tempat mangkal waria. Pernah suatu kali bersama dengan kedua orang teman saya mencari suasana di kawasan ini. Niat melepas bosan dengan mencari angin berubah ngeri tatkala dari sudut jalan yang gelap terdapat tangan melambai dari seorang makhluk yang bersuara genit.
Padahal jarum jam kala itu masih menunjukkan pukul setengah delapan malam. Masih belum terlalu dini untuk lekas mengakhiri perjalanan dan pergi tidur di kota yang cukup dingin ini. Kami sendiri tak mau berlama-lama didaerah itu, selain orientasi kami yang masih normal, juga ingin selekasnya pergi ke tempat tujuan yang tak berada di daerah itu.
Sesaat kemudian ketika melewati sebuah pinggir lapangan sepakbola bagian utara kami mendapati sebuah 'pemandangan ganjil'. Dalam remangnya cahaya beberapa pasang muda-mudi memainkan seni bercinta diatas jok sepeda motor.
Bagaikan sudah memiliki caps, mereka asyik bercumbu mesra tanpa memperhatikan kami yang berjalan sambil tertegun beberapa meter disampingnya. Udara yang dingin tak menghalangi mereka untuk memuliakan dan mengenang kebesaran Illahi, justru menjadi kesempatan sesaat melepas nafsu duniawi.
Di sudut lain tampak pula sepasang muda-mudi yang bercengkerama melepas keluh kesah disebuah sudut gelap yang tak mendapat cahaya lampu jalanan. Entah topik apa yang menjadi bahan pembicaraan, barangkali mereka hanya sekedar mencari tempat 'romantis' yang privat dan jauh dari perhatian umum.
Namun tak berapa lama rasa itu kami tepis ketika melihat sebuah mobil yang parkir di sebelah taman yang panjang. Dari belasan meter tempat kami berjalan mobil tersebut dalam sedikit bergoyang. Kaca mobil berwarna hitam tampak tertutup. Lampu mobilpun terlihat dimatikan. Entah pertempuran model apa yang terjadi didalam mobil tersebut.
Saya sendiri tak berminat untuk menghampiri atau menggoda untuk memergokinya. Justru rasa kasihan kerap muncul jika pikiran religius tiba-tiba melintas di kepala.
Pada awal tahun 2000an lalu, pernah sebuah media massa di Malang mengupas kehidupan malam di kawasan tersebut. Beberapa kali pula aparat dari pemerintahan setempat mengadakan patroli dan operasi mencegah/menghentikan aksi yang menjurus maksiat dikawasan tersebut. Namun acapkali pula petugas kesulitan untuk melakukan pemberantasan sepenuhnya, sehingga aksi kucing-kucingan masih kerap terjadi.
Sampai ketika MOG mulai berdiri dan operasional, aksi roman ala adegan percintaan di beberapa film Hollywood mulai berkurang signifikan. Ketika saya mencoba jalan-jalan diwaktu malam, jarang sekali saya saksikan gairah asmara sepasang muda-mudi bercinta di sudut wilayah yang tak terjamah sinar lampu.
Nyaris di beberapa sudut wilayah yang dulunya suram karena ketiadaan cahaya kini sudah diterangi sinar lampu yang terang. Tak ditemukan lagi waria yang mangkal disitu. Balai pertemuan yang sering gelap dimalam hari sudah berganti menjadi bagian dari sebuah mall yang gemerlap.
Hampir seluruh wilayah di sekitaran Stadion Gajayana mendapat pasokan cahaya. Meski kadang masih ada muda-mudi yang mencari suasana romantis dikawasan tersebut, namun tak ada lagi perilaku agresif seperti yang terlihat belasan tahun lampau.
Keadaan demikian patut disyukuri. Paling tidak wajah kawasan Stadion Gajayana tak lagi suram seperti dulu. Yah, selama cahaya itu masih terjaga dan tetap menyala.
Namun disisi lain, kehadiran MOG sedikit membuka cahaya bagi kawasan Stadion Gajayana Malang yang semakin temaram ketika malam menjelang. Kehidupan sosial di pagi hingga sore ketika mentari bersinar berganti dengan kehidupan malam yang remang-remang.
Di suatu sudut jalan yang bersebelahan dengan balai pertemuan kerap digunakan tempat mangkal waria. Pernah suatu kali bersama dengan kedua orang teman saya mencari suasana di kawasan ini. Niat melepas bosan dengan mencari angin berubah ngeri tatkala dari sudut jalan yang gelap terdapat tangan melambai dari seorang makhluk yang bersuara genit.
Padahal jarum jam kala itu masih menunjukkan pukul setengah delapan malam. Masih belum terlalu dini untuk lekas mengakhiri perjalanan dan pergi tidur di kota yang cukup dingin ini. Kami sendiri tak mau berlama-lama didaerah itu, selain orientasi kami yang masih normal, juga ingin selekasnya pergi ke tempat tujuan yang tak berada di daerah itu.
Sesaat kemudian ketika melewati sebuah pinggir lapangan sepakbola bagian utara kami mendapati sebuah 'pemandangan ganjil'. Dalam remangnya cahaya beberapa pasang muda-mudi memainkan seni bercinta diatas jok sepeda motor.
Bagaikan sudah memiliki caps, mereka asyik bercumbu mesra tanpa memperhatikan kami yang berjalan sambil tertegun beberapa meter disampingnya. Udara yang dingin tak menghalangi mereka untuk memuliakan dan mengenang kebesaran Illahi, justru menjadi kesempatan sesaat melepas nafsu duniawi.
Di sudut lain tampak pula sepasang muda-mudi yang bercengkerama melepas keluh kesah disebuah sudut gelap yang tak mendapat cahaya lampu jalanan. Entah topik apa yang menjadi bahan pembicaraan, barangkali mereka hanya sekedar mencari tempat 'romantis' yang privat dan jauh dari perhatian umum.
Namun tak berapa lama rasa itu kami tepis ketika melihat sebuah mobil yang parkir di sebelah taman yang panjang. Dari belasan meter tempat kami berjalan mobil tersebut dalam sedikit bergoyang. Kaca mobil berwarna hitam tampak tertutup. Lampu mobilpun terlihat dimatikan. Entah pertempuran model apa yang terjadi didalam mobil tersebut.
Saya sendiri tak berminat untuk menghampiri atau menggoda untuk memergokinya. Justru rasa kasihan kerap muncul jika pikiran religius tiba-tiba melintas di kepala.
Pada awal tahun 2000an lalu, pernah sebuah media massa di Malang mengupas kehidupan malam di kawasan tersebut. Beberapa kali pula aparat dari pemerintahan setempat mengadakan patroli dan operasi mencegah/menghentikan aksi yang menjurus maksiat dikawasan tersebut. Namun acapkali pula petugas kesulitan untuk melakukan pemberantasan sepenuhnya, sehingga aksi kucing-kucingan masih kerap terjadi.
Sampai ketika MOG mulai berdiri dan operasional, aksi roman ala adegan percintaan di beberapa film Hollywood mulai berkurang signifikan. Ketika saya mencoba jalan-jalan diwaktu malam, jarang sekali saya saksikan gairah asmara sepasang muda-mudi bercinta di sudut wilayah yang tak terjamah sinar lampu.
Nyaris di beberapa sudut wilayah yang dulunya suram karena ketiadaan cahaya kini sudah diterangi sinar lampu yang terang. Tak ditemukan lagi waria yang mangkal disitu. Balai pertemuan yang sering gelap dimalam hari sudah berganti menjadi bagian dari sebuah mall yang gemerlap.
Hampir seluruh wilayah di sekitaran Stadion Gajayana mendapat pasokan cahaya. Meski kadang masih ada muda-mudi yang mencari suasana romantis dikawasan tersebut, namun tak ada lagi perilaku agresif seperti yang terlihat belasan tahun lampau.
Keadaan demikian patut disyukuri. Paling tidak wajah kawasan Stadion Gajayana tak lagi suram seperti dulu. Yah, selama cahaya itu masih terjaga dan tetap menyala.
0 komentar:
Posting Komentar